Daftar Isi



Jakarta, CNN Indonesia

Jemaah Masjid Aolia di Panggang, Giriharjo, Gunungkidul, Yogyakarta menunaikan salat Idulfitri pada Jumat (5/4). Penetapan Idulfitri rupanya berdasar ‘telepon’ dengan Allah SWT.

Di saat Muslim lain masih berjibaku dengan macet perjalanan mudik, umat Islam Jemaah Aolia Gunungkidul sudah merayakan Idulfitri.

“Kemenag sudah klarifikasi ke “Kemenag sudah klarifikasi ke Mbah Ibnu (Imam masjid Aolia, KH Ibnu Hajar Pranolo) mengapa mulai tarawihnya tadi malam. Sudah ketemu dan (Ibnu) menyampaikan penjelasan bahwa itu berdasarkan keyakinan beliau,” kata Kepala Kantor Kementerian Agama (Kankemenag) Gunungkidul, Sa’aban Nuroni dikutip detikcom, Kamis (7/3).


ADVERTISEMENT


SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Berikut fakta-fakta menarik seputar Jemaah Aolia dan perayaan Lebaran di Gunungkidul.

1. Beda penanggalan

Nuroni berkata sejak lama perayaan Lebaran Jemaah Aolia memang lebih awal daripada kalender pemerintah. Namun tahun ini agak berbeda sebab jaraknya tiga sampai empat hari. Sebelumnya, perayaan Lebaran satu atau dua hari lebih awal.

Penentuan 1 Syawal versi Jemaah Aolia berdasar laku spiritual dan keyakinan KH Ibnu Hajar Pranolo alias Mbah Benu.

“Allah Ta’alla ngendika (berkata) 1 Syawalnya tanggal 5 (April), Jumat,” kata Mbah Benu di kediamannya, Dusun Panggang III, Giriharjo.

2. ‘Menelepon’ Allah SWT

Sebuah video sempat viral di mana Mbah Benu menyebut dirinya ‘menelepon’ Allah SWT soal penetapan 1 Syawal.

“Saya telepon langsung kepada Allah Ta’ala. Ya Allah kemarin tanggal 4 malam 4, Ya Allah ini sudah 29, 1 Syawal kapan? Allah hadirkan, tanggal 5 Jumat. Kalau disalahkan orang bagaimana, ya enggak apa-apa urusan Gusti Allah,” ucap dia.

Dia pun mengklarifikasi bahwa ‘telepon’ itu hanya kiasan. Sebenarnya, Mbah Benu melakukan “kontak batin dengan Allah”.

Anak kelima Mbah Benu, Daud Mastein, memastikan bahwa sang ayah menjalankan sejumlah amalan hingga bisa menentukan awal dan akhir Ramadhan berikut 1 Syawal.

“Ya ngaji, ya amalan dan itu merupakan salah satu karomahnya beliau,” kata Daud saat dihubungi, Sabtu (6/4).

3. Tekankan toleransi

Meski merayakan Lebaran lebih awal, Mbah Benu dan Jemaah Aolia tetap menghormati Muslim yang merayakan Lebaran di hari berbeda.

“Yang percaya ya kami perlakukan baik, yang tidak percaya ua kami perlakukan baik. Kita semua ini bersaudara,” ujar Mbah Benu.

Sementara itu, Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir berharap semua pihak mengedepankan prinsip toleransi dan dialog dalam menyikapi keberadaan Jemaah Aolia.

Kemudian dari Ketua Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) DIY Ahmad Zuhdi Muhdlor menyampaikan pihaknya menyampaikan surat pada Mbah Benu berisi ajakan dialog. Hal ini dilakukan agar Muslim tidak terjebak pada pemahaman dan aqidah yang salah.

Dia menyebut ada poin yang dikategorikan ‘rawan’ antara lain soal ‘menelepon’ Allah SWT dan metode penentuan Ramadhan dan 1 Syawal.

“Pemilihan istilah yang tidak tepat bisa menjebak (menjerumuskan) banyak pihak,” ucapnya.

4. Babat alas

Daud bercerita Jemaah Aolia dulu tidak langsung berdiri begitu saja. Sang ayah yang berasal dari Purworejo, Jawa Tengah, tiba di GunungkKidul pada 1970-an dan memulai perjalanan dakwahnya.

Waktu itu, orang Gunungkidul masih ada yang belum tahu Islam sehingga Masjid Jemaah Aolia tidak serta merta didirikan.

“Babat alas dulu. Karena, maaf dulu masih ada masyarakat yang belum tahu Islam itu apa,” kata Daud.

Kini, lanjut dia, sudah 60 persen warga Gunungkidul tahu keberadaan Jemaah Aolia. Pun Mbah Benu identik dengan sebutan ‘kyai nyeleneh’.

Mbah Benu menyebut Jemaah Masjid Aolia sebagai penganut Tarekat Syattariyah. Dia mengklaim pengikutnya tak hanya ada di Giriharjo tapi juga Kalimantan, Sulawesi, Papua juga luar negeri.

(els/chs)

[Gambas:Video CNN]





Source link

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *